Header Ads

test

Sejarah 5 Dinasti

Dinasti Sui (581 - 618) 
Tiongkok baru dapat bersatu kembali di bawah pemerintahan Dinasti Sui (581-618,) yang didirikan oleh Yang Jian dengan gelarnya Sui Wendi (581-604). Beliau merupakan seorang raja berkemampuan tinggi, yang sanggup memulihkan perdamaian setelah masa kacau selama ratusan tahun. Untuk membantunya dalam memerintah ia juga menunjuk menteri-menteri yang pandai serta berusaha untuk meningkatkan pertanian. 

Pengganti Yang Jian, Kaisar Sui Yangdi (604 - 617) sayangnya bukan kaisar yang cakap dan lebih mementingkan bermewah - mewah ketimbang mengurus masalah kenegaraan. Dengan mengabaikan protes para menterinya, Yangdi memerintahkan pembangungan ibu kota kedua, Luoyang. Dua juta pekerja telah diperintahkan untuk membangun istana megah serta danau buatan di kota tersebut lengkap dengan tamannya yang memiliki luas 155 km2. Kala musim dingin tiba, pada pohon-pohon di taman tersebut digantungkan daun dan bunga-bungaan dari sutra. Kaisar Yangdi melanjutkan pembangunan terusan yang telah dimulai oleh Kaisar Sui Wendi yang menghubungkan utara dan selatan, mulai dari lembah Sungai Yangzi hingga mencapai daerah Beijing sekarang. Terusan sepanjang kurang lebih 2000 km tersebut dapat dikatakan merupakan salah satu mahakarya Bangsa Tionghoa, karena dibangun sekitar 12 abad lebih dahulu dibandingkan dengan pembangungan Terusan Suez oleh bangsa Barat. Kejatuhan Yangdi dipercepat oleh usahanya yang gagal untuk menaklukkan Korea, dimana hal tersebut sangat menghabiskan sumber daya negara. 

Pada masa akhir pemerintahannya Sungai Huanghe meluap yang mengakibatkan penderitaan di kalangan rakyat. Kerusuhan terjadi di mana-mana. Li Yuan seorang tokoh militer dari Utara menaklukkan ibu kota Chang-an dan Yangdipun melarikan diri ke selatan, di mana ia dicekik sampai mati oleh putera seorang menteri yang pernah dipermalukannya. 

Li Yuan kemudian mengangkat cucu Yangdi sebagai Kaisar Gongdi (617-618,) dan ia sendiri menjadi walinya, tetapi setahun kemudian diturunkannya dari tahta dan ia sendiri mengangkat dirinya sebagai kaisar dengan gelar Tang Gaozong (618 - 626). Dengan demikian berakhirlah Dinasti Sui dan masa kekuasaan Dinasti Tang pun dimulai.

Dinasti Tang (618 - 906) 
Setelah Dinasti Tang berdiri keadaan tidaklah langsung aman. Selama kurang lebih enam tahun kekacauan yang diakibatkan oleh pertikaian antar berbagai fraksipun berkecamuk. Li Yuan dengan dibantu puteranya Li Shimin berjuang keras untuk memulihkan perdamaian. Usaha ini akhirnya berhasil dan meletakkan dasar bagi kestabilan politik di sepanjang sejarah Dinasti Tang. 

Li Yuan adalah seorang yang berbelas kasih, ia menjamin kelangsungan hidup para keluarga raja Dinasti Sui. Pada tahun 626 ia turun tahta dan digantikan oleh puteranya, Li Shimin, yang bergelar Kaisar Tang Taizong (626 - 649). Di bawah pemerintahan Taizong, Tiongkok menjadi negara adikuasa. Dengan kecerdasannya dalam bidang politik yang mengkombinasikan kekuatan militer dan diplomasi, serta memecah belah suku-suku di sekitarnya, ia menjadikan Tiongkok sebagai negara terkuat di Asia Utara. Ia menghancurkan sepenuhnya kekuatan suku - suku Turki Timur dan berhasil menguasai Daerah Ordos serta Mongolia Dalam. 

Pada masa kekuasaan Taizong hubungan antara timur dan barat makin terbuka dan Chang-an, ibu kota Dinasti Tang menjadi kota terbesar dan termegah pada jamannya. Salah satu prestasi terkenal pada masa kini adalah perjalanan Bhikshu Xuanzang (kembali ke Chang-an pada tahun 645) untuk mengambil kitab suci Tripitaka di India, dimana perjalanan ini mengandung semangat penjelajahan yang baru menghinggapi bangsa barat sekitar 600 tahun kemudian. Rute perjalanannya mirip dengan rute Marcopolo, sehingga Xuanzang terkadang disebut sebagai Marcopolonya Tiongkok. 

Pengganti Taizong adalah kaisar-kaisar lemah. Berturut-turut Tiongkok diperintah oleh Gaozong (649 - 683), Zhongzong (684; 705 - 710), dan Ruizong (684 - 690; 710 - 712). Kaisar Gaozong adalah seorang yang lemah secara fisik, sehingga akhirnya sedikit demi sedikit kekuasaan jatuh pada selir kesayanganya yang ambisius, bernama Wu Zetian (690 - 705). Ketika Gaozong terkena stroke pada tahun 660 dan mengalami kebutaan serta kelumpuhan, Wu mulai bertindak atas nama suaminya di dalam memegang kekuasaan kenegaraan. 

Setelah kematian suaminya, Wu mengangkat berturut-turut dua orang kaisar, yakni Zhongzong dan Ruizong sebagai kaisar boneka, sebelum akhirnya pada tahun 690, ia mengangkat dirinya sendiri sebagai kaisar dan menyebut Dinastinya dengan nama Zhou. Namun sayang sekali Wu lupa diri dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan moralitas di istananya. Penyuapan dan korupsi marak di mana-mana, sehingga sang kaisar wanitapun kehilangan simpati rakyat. Pada tahun 705 setelah gagal menyelamatkan kekasih-kekasihnya dari pembunuhan oleh pengawal istana yang marah, Ratu Wu turun tahta. Kaisar Zhongzong dan Ruizong naik tahta kembali, sehingga dengan demikian Dinasti Tang bangkit kembali. 

Kebudayaan dan kesenian dinasti Tang makin berkibar pada masa kaisar berikutnya yang bergelar Xuanzong (712 - 756), dimana ia juga merupakan seorang seniman. Salah satu prestasi besarnya adalah pembuatan patung lembu yang terbuat dari besi tuang, dimana patung tersebut ditemukan kembali pada tahun 1989 sejumlah empat buah. 

Hasil karya tersebut menunjukkan betapa majunya Tiongkok di dalam seni pengolahan dan pengecoran logam. Ilmuwan terkenal pada masa Xuanzong adalah Yixing (683 - 727), yang sekaligus merupakan seorang Bhikshu Buddha. Ia adalah orang pertama yang menghitung panjangnya garis bujur bumi dan penemu sebuah alat yang khusus dipergunakan untuk mengukur panjang lingkaran garis bujur. Yixing juga merupakan penterjemah beberapa kitab-kitab suci Buddhis dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Mandarin (antara lain Kitab Mahavairocana Sutra) sehingga memperkaya kesusasteraan Tiongkok. 

Kaisar-kaisar Dinasti Tang setelah Xuanzong merupakan kaisar-kaisar yang lemah dan masa akhir Dinasti Tang ditandai dengan kekacauan dan pemberontakan. Salah satu pemberontakan terbesar yang menggoyahkan Dinasti Tang adalah pemberontakan An Lushan yang berlangsung hingga tahun 763 selama pemerintahan dua kaisar, yakni Suzong (756 - 762) dan Daizong (762 - 779). Pemberontakan ini menyita kekayaan dan kekuatan Dinasti Tang. Kelemahan Dinasti Tang ini tidak disia-siakan oleh Bangsa Tibet yang berulang kali menyerang Tiongkok hingga tahun 777. Hingga menjelang akhir hayatnya, para kaisar terakhir Dinasti Tang gagal untuk mempertahankan kekuasaannya atas para gubernur setempat. Bahkan jarang dari para kaisar tersebut yang memerintah lebih dari 15 tahun. Salah seorang dari para gubernur yang makin kuat tersebut, Zhu Wen, membunuh Kaisar Zhaozong (888 ¡V 904), serta mengangkat putera kesembilannya, Aidi (904 - 907) sebagai kaisar boneka. Namun pada akhirnya ia sendiri mengangkat dirinya sebagai kaisar serta memproklamasikan berdirinya Dinasti Liang Akhir, sehingga berakhirlah Dinasti Tang. 

Selama periode berikutnya, Tiongkok kembali mengalami perpecahan dan kekacauan. Lima dinasti secara berturut-turut berkuasa di utara (Liang Akhir, Tang Akhir, Jin Akhir, Han Akhir, dan Zhou Akhir), sementara itu di selatan terdapat sepuluh kerajaan. Oleh karenanya periode sejarah ini dinamakan Wu Dai Shi Guo (Lima Dinasti dan Sepuluh Kerajaan).

Dinasti Song (960 - 1268)
Zhao Kuangyin, seorang jenderal dari Dinasti Zhou Akhir, berhasil mempersatukan Tiongkok kembali dan mendirikan Dinasti Song. Gelarnya adalah Song Taizu (960 - 976). Catatan sejarah menyatakan bahwa ia telah dipaksa oleh para prajuritnya untuk mengenakan jubah kekaisaran serta menjadi penguasa baru mereka. Setelah menjadi kaisar, karena merasa khawatir para anak buahnya memberontak terhadap dirinya, ia kemudian membujuk mereka agar mengundurkan diri secara sukarela. Prestasi lain Zhao Kuangyin adalah keberhasilannya di dalam menghapuskan kekuasaan para gubernur militer setempat, sehingga politik menjadi lebih stabil. Para ahli sejarah membagi Dinasti Song ini menjadi dua, yakni Song Utara (960 - 1126) dan Song Selatan (1126 - 1279). 

Penemuan pada masa Dinasti Song antara lain adalah uang kertas yang pertama di dunia. Uang kertas ini pertama kali diberlakukan pada masa pemerintahan Kaisar Renzong (1022 - 1063) dan dicetak di Chengdu, Sichuan pada tahun 1024. Latar belakang dipergunakannya uang kertas ini adalah kemajuan dalam bidang ekonomi yang luar biasa, sehingga permintaan akan uang logam meningkat. Oleh karena uang logam cukup berat untuk dibawa-bawa serta menyita tempat yang lebih banyak, maka diciptakanlah uang kertas untuk mewakili nilai uang logam tersebut. 

Prestasi lainnya adalah pembuatan jam bertenaga air pada tahun 1090 di Kaifeng, serta penemuan teknik mencetak, yang sekitar 500 tahun sebelum Gutenberg (penemu mesin cetak di Barat). 

Pada saat yang bersamaan dengan Dinasti Song, di Utara berdirilah Kerajaan Liao dan Jin. Kedua kerajaan tersebut didirikan oleh suku semi nomadik yang berasal dari Manchuria. Kerajaan Liao ini kemudian menjadi ancaman bagi Dinasti Song, maka Dinasti Song kemudian bersekutu dengan Suku Jin (Jurchen) untuk bersama-sama mengalahkan Liao. Setelah Liao berhasil dikalahkan giliran Jin menjadi ancaman bagi Song. Pada tahun 1127 mereka menyerbu dan menaklukkan Kaifeng, ibu kota Dinasti Song Utara dan bahkan Kaisar Huizong (1101 - 1125) serta Qinzong (1126) berhasil ditawan oleh mereka. Penawanan ini menandai berakhirnya periode Dinasti Song Utara. 

Penemuan besar pada masa ini adalah kompas yang sangat berguna bagi pelayaran pada tahun 1119. Penemuan ini yang merupakan pertama di dunia ini memajukan pelayaran secara besar-besaran. 

Dinasti Song terselamatkan oleh seorang pangeran muda bernama Zhao Gou yang berhasil melarikan diri ke selatan. Ia memindahkan ibu kotanya ke Hangzhou di sebelah selatan setelah Kaifeng jatuh ke tangan Bangsa Jin. Gelarnya setelah menjadi kaisar adalah Gaozong (1127 - 1162) dan Periode Dinasti Song Selatanpun mulailah. 

Pada tahun 1141 ia menandatangani perjanjian perdamaian dengan Jin, menerima status sebagai negara bawahan dan membayar upeti sebesar 500.000 unit sutra dan perak. Tindakan ini menunjukkan bahwa Zhao Gou bukanlah kaisar yang bijaksana, dia menyerah kepada Jin dalam keadaan jenderalnya menang dalam peperangan, sejarah mencatat dia adalah seorang raja yang menjual negara dan rakyatnya sampai anak cucu, dengan kehilangan setengah dari wilayah dinastinya. 

Pengganti Gaozong, Xiaozong (1163 - 1190) membawa Tiongkok memasuki jaman penjelajahan samudera, yang jauh mendahului bangsa Barat. Ilmu navigasi dan pembuatan kapal segera mencapai puncaknya dan kapal Tiongkok menjadi yang paling maju pada saat itu. Kapasitasnya berkisar antara 200 - 600 ton. Salah satu kapal Dinasti Song yang ditemukan kembali, panjangnya mencapai 40 m dan lebarnya mencapai 10m. Benar-benar suatu prestasi yang luar biasa. 

Sementara itu di utara Bangsa Mongol telah menjadi semakin kuat. Pada mulanya Bangsa Mongol adalah taklukan dari Kerajaan Jin, namun pada akhirnya mereka berhasil mengalahkan Jin dan mendirikan kerajaan sendiri, di bawah Genghis Khan. Bangsa Mongol segera menjadi ancaman baru bagi Dinasti Song Selatan. 

Pada masa pemerintahan Kaisar Duzong (1265 - 1274) mereka berusaha menaklukkan Tiongkok dan akhirnya berhasil merebut kota Xianyang, yang merupakan benteng pertahanan utama Dinasti Song. Hilangnya Xianyang sangat melemahkan pertahanan Song dan membuka jalan bagi penyerbuan ke selatan. Pengganti Duzong: Gongzong (1275), Duanzong (1276 - 1278),, dan Bingdi (1279), menghabiskan sebagian waktu mereka dalam pelarian dan kejaran pasukan Mongol. 

Pada tahun 1279, serangan pasukan Mongol memaksa keluarga kerajaan untuk melarikan diri ke laut, namun akhirnya Mongol berhasil mengepung mereka kembali. Ketika melihat tidak ada harapan lagi, salah seorang menteri yang setia pada Dinasti Song bernama Lo Shiufa, memeluk Bingdi dan bersama-sama menceburkan diri ke laut. Peristiwa ini menandai berakhirnya Dinasti Song. 

Dinasti Yuan (1279 - 1368) 
Dinasti Yuan merupakan dinasti asing di Tiongkok, karena didirikan oleh Bangsa Mongol. Pendirinya adalah Kubilai Khan yang bergelar Shizu (1279 - 1294). Peristiwa terpenting pada jamannya adalah kedatangan Marcopolo, seorang pedagang dari Venezia. Hal ini menandai persinggungan penting antara Dunia Timur dan Barat, yang kemudian sempat terhenti selama kurang lebih 600 tahun. Karya besar yang dibangun pada masa ini adalah perpanjangan terusan yang telah dibangun oleh Kaisar Sui Yangdi, untuk memudahkan pengiriman gandum dari selatan ke ibu kota mereka. Satu hal luar biasa yang dapat kita pelajari dari Kubilai Khan adalah toleransinya pada semua agama. 

Pada masa kekuasaannya, Agama Buddha, Islam, Kristen, dan lain sebagainya dapat hidup berdampingan dengan damai. Sikap toleransi pada semua agama ini jelas-jelas telah mendahului Bangsa Barat, dimana pada saat yang sama di Eropa, orang-orang yang tidak menganut agama tertentu akan mengalami siksaan yang berat dan bahkan kematian. Hal selanjutnya yang patut dicatat pada masa pemerintahan Kubilai Khan adalah serangannya ke Jawa dan Jepang. Kekalahan armada Kubilai Khan waktu menyerang Jepang dikarenakan tidak mengenal medan lautan, seluruh armadanya tenggelam di laut Jepang karena dihantam badai taifun, yang memang setiap tahun menerpa Jepang pada bulan Juli. 

Kubilai Khan digantikan oleh cucunya Temur Oljeitu (1294 - 1307), dimana pada masa pemerintahannya ditandatangani perjanjian perdamaian dengan Jepang. Setelah kematiannya pada tahun 1307, kekuatan Mongol melemah secara drastis. 

Pada masa pemerintahan kaisar Dinasti Yuan terakhir, Toghon Temur (1333 - 1368,) terjadi banyak bencana alam seperti banjir dan wabah penyakit, yang diduga merupakan penyakit sampar. Pemberontakan terjadi di mana-mana dan yang terkuat adalah yang di bawah pimpinan Zhu Yuanzhang. Mereka berhasil merebut ibu kota Dinasti Yuan yang bernama Dadu pada tahun 1368. Kaisar Toghon Temur melarikan diri ke utara, sehingga dengan demikian berakhirlah kekuasaan rezim Mongol di Tiongkok.

Dinasti Ming (1368 - 1644) 
Setelah berhasil mengusir Bangsa Mongol, Zhu Yuanzhang menobatkan dirinya sebagai kaisar dengan gelar Ming Daizhu (1368 - 1398). Tahun pemerintahannya disebut dengan Hongwu, sehingga Beliau juga dikenal dengan sebutan Kaisar Hongwu. Dinasti barunya tersebut diberi nama Ming. 

Pelayaran samudera merupakan salah satu hal yang patut dibanggakan pada masa Dinasti Ming. Kaisar Yongle (1403 - 1424) telah memerintahkan Admiral Zheng He untuk mengadakan pelayaran ke selatan menuju negeri-negeri yang jauh. Ia berhasil berlayar sejauh Afrika (Mogadishu dan Malindi), jauh sebelum Bangsa Barat berhasil mencapai tempat tersebut serta mencapai Kalkuta dan Kolombo beberapa ratus tahun sebelum Vasco Da Gama. Zheng He berangkat pada tahun 1405, membawa 63 kapal yang memuat 27.870 orang (jauh lebih banyak dibandingkan dengan pelayaran Kolombus). Hal terpuji yang patut kita teladani di sini adalah: meskipun membawa kekuatan besar tetapi Zheng He tidaklah berusaha menaklukkan atau menjajah negeri-negeri yang dikunjunginya. Hal ini beda dengan bangsa Barat, dimana penjelajahan selalu diakhiri dengan penjajahan. Pelayaran samudera ini beberapa ratus tahun lebih tua dibandingkan dengan Kolombus, sehingga dapat dikatakan bahwa pelopor penjelajahan samudera yang sebenarnya adalah Zheng He.

Yongle digantikan oleh putera tertuanya Hongxi (1425), yang hanya memerintah setahun, namun ia memiliki rasa ketertarikan pada astronomi. Ia telah berhasil mengenali bintik matahari, jauh sebelum bangsa Barat mengenalnya. Kaisar Dinasti Ming yang terkenal berikutnya adalah Wanli (1573 - 1620). Pada masa kekuasaannya transformasi Tiongkok menuju negara modernpun diawali. Hasil pertanian dari Amerika, seperti misalnya jagung, kentang manis, dan kacang meningkatkan produksi pangan dan jumlah penduduk meningkat hingga menjadi lebih dari 100 juta jiwa atau bertambah dua kali lipat dibandingkan awal Dinasti Ming. Dinasti Ming terkenal pula dengan keramiknya yang diekspor ke seantero penjuru dunia. Pada beberapa bagian belahan bumi ini, kita dapat menjumpai sisa-sisa keramik dari jaman dinasti ini. Sementara itu menjelang akhir Dinasti Ming, Bangsa Manchu di utara menjadi bertambah kuat. Pemimpin mereka Nurhachi beserta puteranya Aberhai pada awal abad ketujuh belas berhasil merebut Liaoning dari tangan Dinasti Ming. Setelah merasa kuat mereka mendirikan dinasti sendiri yang diberi nama Qing (1626). 

Kaisar Dinasti Ming terakhir adalah Chongzhen (1628 - 1644), pada jamannya terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Li Zicheng. Ia berhasil merebut Beijing, ibukota Dinasti Ming pada Bulan April 1644, menyatakan dirinya sebagai kaisar dan mendirikan Dinasti Xun. Kaisar Chongzhen bunuh diri dengan cara menggantung diri dan pada saat yang sama dengan kematiannya, berakhir pulalah Dinasti Ming. 

Jenderal Wu Sangui yang ditugaskan menjaga perbatasan masih setia pada Dinasti Ming, maka ia meminta tolong Bangsa Manchu yang saat itu dipimpin Shunzhi (1644 - 1661) untuk mengusir Li Zicheng. Tetapi ternyata setelah Li berhasil diusir, Bangsa Manchu tidak bersedia meninggalkan Tiongkok, sehingga dengan demikian berawalah kekuasaan Dinasti Qing di Tiongkok.

Dinasti Qing (1644 - 1912) 
Dinasti Qing sama dengan Yuan merupakan dinasti bangsa asing di Tiongkok, karena didirikan Bangsa Manchu, dan sekaligus merupakan dinasti terakhir di Tiongkok. Shunzhi yang merupakan kaisar pertamanya harus berjuang keras untuk membersihkan Tiongkok dari sisa-sisa Dinasti Ming secara bertahap. 

Peristiwa penting yang patut dicatat adalah kunjungan duta besar Macartney dari Inggris untuk membuka hubungan bagi Tiongkok dan dunia Barat, namun sayangnya hubungan dengan bangsa Barat ini kelak diakhiri dengan penjajahan beberapa bagian Tiongkok. Kunjungan ini terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Qianlong (1736 - 1795) dan bertujuan untuk membuka hubungan dagang serta kedutaan di Tiongkok. Tetapi Qianlong menjawabnya dengan pernyataan, "Aku tidak menghargai sedikitpun barang aneh ataupun luar biasa dan tidak memerlukan hasil dari negara Anda". Utusan ini dapat dinilai sebagai suatu kegagalan. 

Qianlong digantikan oleh putera kelimanya Jiaqing (1796 - 1820), pada masanya berkembanglah perasaan anti Manchu di kalangan Bangsa Tionghoa, yang mendorong timbulnya berbagai perkumpulan rahasia untuk menggulingkan Dinasti Qing, seperti misalnya perkumpulan Teratai Putih. 

Pada masa kaisar berikutnya Daoguang (1821 - 1850), terjadilah peristiwa penting dalam sejarah Tiongkok, yakni Perang Candu. Latar belakang perang ini adalah sebagai berikut: semenjak kegagalan kunjungan Macartney dilakukanlah perdagangan segitiga. Pembelian sutra dan teh oleh Inggris dari Tiongkok dibayar dengan opium yang berasal dari India. Oleh karena masuknya candu ke Tiongkok ini, maka menyebabkan makin berlipat gandanya pecandu, sehingga akhirnya Tiongkok harus mengimpor candu dari pihak Inggris, dimana selama kurun waktu 40 tahun, impor candu telah membengkak dari 1000 kotak menjadi 40.000 kotak. Makin meningkatnya pecandu opium ini melemahkan negara dengan dua cara, yakni melemahnya sumber daya manusia serta mengalirnya kekayaan negara ke barat. Menimbang makin meningkatnya pencandu opium yang pada tahun 1830-an sudah mencapai 10 juta jiwa, maka Kaisar Daoguang memutuskan untuk mengeluarkan surat perintah pada Lin Zexu (1785 - 1850) untuk menekan perdagangan candu tersebut. Sebagai pelaksanaan titah kaisar tersebut Lin menyita dan membakar candu milik Inggris. Ada beberapa hal yang jarang disebutkan oleh para penulis Barat, sesungguhnya candu tersebut bukan hanya sekedar disita, tapi Tiongkok bersedia memberi ganti rugi berupa uang perak 10 tael serta teh 1 bal utk setiap peti candu. Lin juga sebelumnya telah menulis surat ke Ratu Inggris dan memohon utk menghentikan kegiatan perdagangan candu via EIC (East India Company) sebelum mengambil tindakan tegas. Pihak Inggris marah dan menyatakan perang kepada Tiongkok sehingga meletuslah Perang Candu (1840 - 1842). Perang ini diakhiri dengan kekalahan Tiongkok, karena persenjataan barat yang lebih canggih serta makin melemahnya kekuatan Dinasti Qing sendiri. 

Pada masa selanjutnya kita dapat melihat bahwa kekuatan barat makin leluasa menguasai Tiongkok secara perlahan-lahan. Pemberontakan yang terjadi di mana-mana juga makin memperlemah Dinasti Qing. 

Pemberontakan Taiping (1850 - 1864) merupakan pukulan besar bagi Dinasti Qing, yang terjadi pada masa pemerintahan Kaisar Xianfeng (1851 - 1861). Pemimpinnya adalah Hong Xiuquan, seseorang yang terpengaruh oleh Agama Kristen. Pada mulanya bangsa Barat bersimpati pada pemberontakan ini, namun setelah mengetahui bahwa Hong mempunyai doktrin yang agak "miring", dengan menyatakan diri sebagai adik Yesus Kristus, maka bangsa Baratpun berbalik mendukung Dinasti Qing. Pemberontakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan dengan bantuan barat sehingga menunjukkan makin bergantungnya Tiongkok pada barat. 

Sentimen anti-Manchu berkembang subur di mana-mana, salah seorang tokoh paling menonjol adalah Sun Yatsen, dimana ia pada akhirnya pada tanggal 15 Februari 1912 berhasil membuat kaisar terakhir Dinasti Qing, Puyi (1909 - 1911) turun tahta. Tiongkok menjadi negara republik. Runtuhlah sistim dinasti yang telah berlangsung selama kurang lebih 5000 tahun semenjak Yu, pendiri Dinasti Xia hingga Puyi, kaisar terakhir Tiongkok.


Tidak ada komentar