Header Ads

test

Nasib Pedagang Kaki Lima


Berbicara tentang nasib Pedagang Kaki Lima (PKL), memang tiada habisnya. Seumpama obat yang rasanya pahit sekali, dibutuhkan semua orang di kala sakit, namun dijauhi orang di kala sehat. Begitulah nasib yang menimpa para Pedagang Kaki Lima. Sungguh amat menderita. Didekati semua penguasa di saat kampanye, menjadi tempat tujuan masyarakat membeli barang kebutuhan, tapi di sisi lain dianggap biang kemacetan lalu lintas dan memperburuk wajah kota karena menggelar dagangannya sampai masuk ke badan ruas jalan, trotoar dan kocar-kacir di saat petugas Satpol PP datang dengan dalih ‘menertibkan’ yang tak jarang melakukannya dengan cara kekerasan dan sewenang-wenang.

Belum lagi keberadaan kaum bermodal yang membuka pasar modern dan jauh dari kesan kumuh. Seolah, perlahan tapi pasti, pedagang kaki lima makin lama makin tenggelam, terabaikan dan terancam sumber pendapatannya. Tenggelam karena dianggap ‘kuman’ yang membuat kondisi pasar kumuh, serba sederhana dan menambah permasalahan keindahan kota dan kemacetan lalu lintas. Akhirnya, relokasi hingga penggusuran dan penertiban pun dilakukan untuk ‘membuat pasar menjadi sesuai yang diharapkan’. Tak tahu, sesuai harapan siapa. Tentunya bukan harapan para pedagang kaki lima karena kenyataannya lebih banyak penertiban dan peraturan tidak berpihak kepada mereka alias selalu dirugikan.


Kalau anda punya sedikit waktu di pagi hari, maka coba diluangkan untuk melihat secara langsung di sekitar kota Anda apakah benar atau tidak hal tersebut. Setiap pagi, para Pedagang Kaki Lima sejak subuh sudah menggelar dagangannya di pinggir-pinggir jalan hingga membuat macet lalu lintas. Namun sayang, penggusuran (bahasa sopannya: penertiban) para pedagang kaki lima tidak disertai solusi dan malah menambah permasalahan berupa menjadi tempat parkir liar di pinggir jalan. Sama saja malah menambah lalu lintas macet.

Nasib Pedagang Kaki Lima
Beberapa waktu lalu, ada penolakan dari pedagang kaki lima di sebuah Pasar yang direlokasi ke lantai II Pasar. Alasannya karena selain karena membuat omset menurun karena pembeli malas naik atas lantai II, juga fasilitas pasar yang disediakan belum cukup dan terkesan masih kumuh. Belum lagi ditambah memikirkan uang sewa. Boro-boro mau pindah, dan bayar uang sewa, di pinggir jalan saja lebih praktis dan pembeli banyak.


Nasib pedagang kaki lima dari dulu sampai sekarang memang seolah di ujung tanduk. Banyak tempat dimana para pedagang kaki lima menjajakan pakaian baik bekas (monza) maupun pakaian baru. Kawasan tempat pedagang kaki lima terkenal dengan tempat menjual pakaian dengan harga miring (murah dan bisa ditawar). Namun, seiring perkembangan zaman dan mulai di tata nya Kota, pedagang kaki lima di kawasan tersebut digusur.

Tidak hanya di pinggir jalan para pedagang kaki lima yang berjualan di pinggir pasar pun kerap kali mengalami penggusuran.

Di satu sisi dapat mengatasi tingkat kemacetan karena terkadang barang dagangan yang digelar masuk di trotoar, pingiran jalan hingga setengah badan jalan, di sisi lain kasihan, para pedagang kaki lima di situlah tempat mencari nafkah.

Menuntut Keadilan
Hal ihwal nasib pedagang kaki lima sebenarnya sudah diatur oleh pemerintah. Karena merupakan urat nadi sebagian masyarakat yang menggantungkan hidup mencari nafkah lewat berjualan secara pedagang kaki lima, pemerintah memberikan perhatian untuk meningkatkan dan memberdayakan padagang kaki lima agar lebih baik, baik secara profesional, tempat maupun cara-cara yang lebih bagus untuk berdagang.

Hal tersebut didasarkan pada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang ekonomi kreatif untuk dilakukan pembinaan dan penataan kepada para pedagang kaki lima dan berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41 Tahun 2012 tentang pedoman dan pemberdayaan pedagang kaki lima.

Nah, kita sering disuguhi pemandangan berupa penggusuran pedagang kaki lima (PKL) dengan paksa, padahal sesuai instruksi presiden bahwa pedagang kaki lima harus dibina dan ditata, bukan digusur karena bila digusur, mau makan apa keluarganya.


Sudah menjadi tugas pemerintah Kota  dan Pemerintah Provinsi, untuk membina, dan menata para pedagang kaki lima. Jangan hanya membela para pedagang yang ‘bermodal’, tapi bela jugalah pedagang yang tak bermodal karena bagaimana pun mereka adalah warga Kota Medan dan berhak mendapatkan hak untuk berdagang mencari nafkah.

Masalah mengganggu lalu lintas, berjualan hingga trotoar dan terkadang masuk ke badan jalan, semestinya membuka mata para penguasa agar segera mungkin membangun sebuah tempat layak untuk berjualan para PKL. Apalah artinya uang beberapa milyar untuk membangun bangunan atau membeli sebuah lokasi khusus untuk lapak para pedagang kaki lima agar tidak merayap kemana-mana dan mengusik kenyamanan berlalu lintas.

Harapan 
Semoga pemerintah benar-benar memperhatikan nasib para pedagang kaki lima, karena warga yang menggantungkan hidup dengan mencari nafkah dengan menjadi pedagang kaki lima amat banyak, dan mereka harus dibela dan mendapatkan hak-haknya.

Jangan hanya sibuk menggusur, menertibkan dan merelokasi ke tempat yang malah membuat para PKL merugi, namun benar-benar ditata dan ditempatkan di lokasi yang nyaman, menguntungkan dan tidak menganggu lalu lintas.

Kalau hal itu benar-benar terjadi, maka pedagang kaki lima tidak lagi menjadi pengganggu, namun malah bisa menjadi objek wisata pasar rakyat. Bisa dibayangkan bila hal itu terwujud. Barangkali, pemerintah tidak mungkin tak punya cukup dana untuk merelokasikan para pedagang kaki lima ke tempat strategis dan melakukan pembinaan kalau memang benar-benar ingin membantu nasib PKL, dan menata Kota menjadi semakin lebih baik dan tidak dikungkung kemacetan.***

Penulis adalah Mahasiswa UMSU, Staf Pengajar di SMP YPI An-Nur Prima Martubung.

Sumber



 

Tidak ada komentar